Jumat, 25 April 2008


Dia mungkin setelah lulus nanti akan jadi fisioterapis yang handal di daerah solo dan sekitarnya,
so jangan lupa dukung dia ya

Sabtu, 19 April 2008

STRESS DAN MANAJEMEN STRESS

PENGERTIAN STRESS

Salah satu sumbangan pertama dalam penelitian tentang stress adalah deskripsi Cannon tentang respon fight or flight pada tahun 1932. Cannon berpendapat bahwa ketika organisme merasakan adanya suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui system saraf simpatetik dan endokrin. Respon fisiologis ini mendorong organisme untuk menyerang ancaman tadi atau melarikan diri (Garmezy, 1983; Taylor, 1991).
STRESS adalah segala situasi dimana tuntutan non specific mengharuskan seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976).
Lazarus dan Folkman (1994) mendefinsikan stress psikologis sebagai hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dihargai oleh orang lain tersebut sebagai pajak terhadap sumber dayanya dan membahayakan kemapanannya.Stres dianggap sebagai faktor predisposisi atau pencetus yang meningkatkan kepekaaan individu terhadap penyakit (Rahe, 1975).
Baum et al (1984) menyatakan bahwa stress sudah menjadi konsep yang popular untuk menjelaskan variasi luas dari hasil akhir, yang kebanyakan negatif, yang sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan. Mereka mengatakan bahwa stress digunakan sebagai label untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidak nyamanan dan banyak keadaan lain.
Ketika organisme berhadapan dengan stressor, dia akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan. Usaha ini diatur oleh kelenjar adrenal yang menaikkan aktivitas system saraf simpatetik. Tanpa memperhatikan penyebab dari ancaman, individu akan merespon dengan pola reaksi fisiologis yang sama (non spesifik response). Selebihnya, dengan mengulangi atau memperpanjang stress, sehingga akan melicinkan dan mematahkan system (wear and tear of the system) (Taylor, 1991). Meskipun banyak keterbatasan dan keberatan, sampai saat ini model yang dikembangkan oleh Seyle ini menjadi dasar dalam membahas masalah stress. Menurut Hans Seyle pada tahun 1936 tentang General Adaptation Syndrome (GAS).



Pendekatan-pendekatan Stress

Stress sebagai ‘stimulus’
Pendekatan yang pertama menitikberatkan pada lingkungan dan menggambarkan stress sebagai suatu stimulus (atau stress sebagai ‘varibel bebas’). Kejadian atau lingkungan yang menimbulkan perasaan-perasaan tegang disebut sebagai stressor. Secara historis, pendekatan yang mengungkap hubungan antara kesehatan dengan penyakit pada kondisi tertentu di lingkungan eksternal, dilacak oleh Hipocrates, pada awal abad 15-an. Menurut model ini, seorang individu bertemu secara terus sumber-sumber stressor yang potensial yang ada di dalam lingkungan tetapi hanya satu yang tampak minor atau kejadian yang tidak berbahaya dapat mengubah keseimbangan yang tipis yang ada di antara batasan coping dengan keseluruhan perlawanan perilaku coping. Kelemahan model ini ditunjukkan oleh perbedaan individual, tingkat toleransi seseorang dan harapan-harapannya. Selain itu tidak ada kriteria obyektif yang bias mengukur situasi yang penuh stress, kecuali ukuran pengalaman individual, sedang lingkungan yang memberi tekanan dapat berupa lingkungan kerja.
Pada stressor sebagai dimensi dasar dalam proses stress, riset mencoba membedakan kejadian dalam hidup (life events) dan pertengkaran sehari-hari (dayli hassles) yang diperkirakan akan banyak atau kurang mengandung stress bagi kelompok yang diteliti. Untuk mengungkap kejadian hidup digunakan Skala Penilaian Penyesuaian Diri Sosial (Social Readjustment Rating Scale – SRRS) yang dikembangkan oleh Thomas Holmes dan Richard Rahe. Sedang untuk mengungkap pertengkaran digunakan Skala Pertengkaran, yang dikembangkan oleh Lazarus dkk. (Sarafino, 1990; Taylor, 1991).

Stress sebagai ’respon’
Pendekatan yang kedua memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stressor dan menggambarkan stress sebagai suatu respon (atau stress sebagai ’variabel tergantung’). Respon mengandung dua komponen, yaitu: komponen psikologis, yang meliputi: perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stress; dan komponen fisiologis, berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat, seperti: jantung berdebar-debar, mulut menjadi kering, perut mules, badan berkeringat. Respon-respon psikologis dan fisiologis terhadap stressor ini disebut juga strain atau ketegangan. Ditambahkan oleh Sutherland dan Cooper (1990), bahwa stress sebagai suatu respon tidak selalu bisa dilihat. Hanya akibatnya saja yang bisa dilihat.

Stress sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan
Pendekatan ketiga menggambarkan stress sebagai suatu prosesyang meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional (Van Broeck, 1979; Sutherland & Cooper, 1990; Sarafino, 1990). Di sini stress bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja, tetapi juga suatu proses dimana seseorang adalah pengantara (agent) yang aktif yang dapat mempengaruhi stressor melalui strategi-strategi perilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi stress yang berbeda pada stressor yang sama. Jelas bahwa terdapat perbedaan dalam mengartikan bahwa tumbuhnya kesadaran terhadap stress merupakan proses yang kompleks dan dinamis. Tambahan pula, hal ini sesuai dengan pendekatan biopsikososial terhadap kehidupan manusia.
Sarafino mendeskripsikan stress sebagai suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Dari definisi tersebut, kami mendapatkan suatu konsep dasar yang sama, sebagaimana yang disimpulkan oleh Sutherland & Cooper (1990) yaitu:
a. penilaian kognitif (cognitive appraisal) : Stress adalah pengalaman subyektif yang didasarkan atas persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan.
b. Pengalaman (experience) : suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban dengan situasi, keterbukaan semula (previous exposure), proses belajar, kemampuan nyata dan konsep reinforcement.
c. Tuntutan (demand) : tekanan, tuntutan, keinginan atau rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat dierima.
d. Pengaruh interpersonal (interpersonal influence) : ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi pengalaman subyektif, respon dan perilaku coping. Kehadiran orang lain dapat merupakan sumber kekacauan dan kegalauan yang tidak diinginkan, tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang dapat memberikan dukungan, meningkatkan harga diri, memberikan konfirmasi nilai-nilai dan identitas personal.
e. Keadaan stress (a state of stress) : ini merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk menemukan tuntutan tersebut.

Penilaian psikologis terhadap stress
Salah satu faktor psikososial ini adalah representasi atau penilaian terhadap ancaman (Johnston dkk., 1990). Bahkan dalam situasi dimana terdapat stressor yang ekstrim seperti perang, proses atribusi dan kognitif sangat penting (Peterson dkk., 1991). Richard Lazarus mengatakan bahwa ketika individu berhadapan dengan lingkungan yang baru atau lingkungan berubah, mereka melakukan proses penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukan arti dari kejadian tersebut. Penilaian sekunder (secondary appraisal) adalah pengukuran terhadap kemampuan coping dan sumber-sumbernya, serta apakah mereka akan bisa/tidak menghadapi kerusakan (pengukuran terhadap banyaknya kesalahan yang telah dilakukan dalam satu kejadian), ancaman (pengukuran terhadap kemungkinan kesalahan di masa yang akan datang dalam satu kejadian), dan tantangan terhadap kejadian (Taylor, 1991). Ahli lain dalam pendekatan kognitif adalah Howard Leventhal yang dikenal dengan teorinya Model Pengaturan Diri yang mengatakan bahwa variabel dan proses yang terlibat di dalam psikologi stress dan kontrol terhadap stress dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
(a). representasi terhadap kondisi stress,
(b). coping dan atau prosedur-prosedur untuk bertindak atau mengatur kondisi stress,
(c). proses penilaian, pengecekan dan perbaikan proses representasi serta proses coping ketika individu bertindak untuk mengatur situasi stress (Leventhal, 1990).
Menurut model pengaturan diri ini, ada 2 proses yang paralel, yaitu satu menghadapi kondisi bahaya, yang lain menghadapi rasa takut.

PENJELASAN FISIOLOGIS

Seyle (1956) menyebutkan hal ini sebagai sindroma stress dan menyatakan bahwa sindrom ini timbul sebagai respon terhadap semua stimulus yang mengakibatkan stress. Respon tubuh terhadap stimulus apapun yang mengakibatkan stress terjadi dalam tiga tahap yag dinamai Seyle sindrom adaptasi umum (GAS).
Tahap 1: Reaksi peringatan. Efek aktivasi system saraf autonom dan mempunyai karakteristik adanya penurunan resistensi tubuh terhadap stress. Medulla adrenal sebaliknya mensekresi adrenalin dan noradrenalin. Hormone adrenokortikotropik (ACTH) dihasilkan oleh glandula hipofisis yang menstimulasi korteks adrenal untuk melepaskan glukokortikoid. Jika stress awal terlalu berat, organisme dapat mati pada tahap ini.
Tahap 2: Tahap resistensi. Hipofisis terus mengeluarkan ACTH yang kemudian merangsang korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid, yang penting untuk resistensi terhadap stress karena glukokortikoid merangsang konversi lemak dan protein menjadi glukosa yang menghasilkan energi untuk mengatasi stress. Selama tahap ini, resistensi terhadap stress yang khusus meningkat dan kemudian respons yang sifatnya sama akan hilang. Efek dari hormon glukokortikoid yang menghambat pembentukan antibody dan menurunkan pembentukan sel darah putih. Bagian lain dari tahap resistensi GAS adalah penekanan dari banyak fungsi tubuh yang berhubungan dengan perilaku seksual dan reproduksi. Pada pria, produksi sperma menurun karena penurunan sekresi hormon seksual pria; pada wanita, siklus menstruasi terganggu atau tertekan.
Tahap 3: Tahap kelelahan. Jika stress yang khusus tersebut terus berlanjut, kemampuan tubuh untuk menahannya dan untuk menghindari stress yang lain pada akhirnya akan gagal.
Dengan stress yang berkepanjangan, mekanisme tubuh dilengkapi untuk mempertahankan tubuh, tetapi akibatnya adalah apa yang dimanifestasikan dengan melemahnya resistensi terhadap penyakit dan infeksi. Pola respon fisiologiss ini timbul tanpa memandang sumber stress. Ada bukti bahwa pola respon ini berbahaya untuk jangka waktu lama (Innes 1981). Bukti bahwa persepsi terhadap kejadian, atau penilaian kognitif, merupakan faktor yang sangat penting dalam mengalami stress yang datang dari berbagai sumber. Lazarus (1991) mengutip bukti dari ketidaksadaran dan anestesi yang menghilangkan efek adrenal dari stress fisiologis. Pasien yang menghadapi kematian memperlihatkan kondisi korteks adrenal yang normalsepanjang mereka tetap berada dalam keadaan tidak sadar selama periode fatal. Mereka tidak dapat merasakan bahwa situasi yang sedang terjadi berbahaya. Bakal (1979) menyatakan dari penelitian stres adalah 20 tahun lalu ketika fisiologis dalam penelitian mereka tentang efek fisiologis dari panas, syok, dan trauma, mempertahankan keadaan dimana variabel yang penting. Sekarang keadan berbalik, karena beberapa stresor fisik harus dengan sangat berhati-hati menyingkirkan kemungkinan bahwa perubahan yang sedang diobservasi dapat diakibatkan oleh reaksi psikologis binatang yang digunakan untuk penelitian terhadap situasi yang sedang dihadapi.

SUMBER – SUMBER STRESS

Sumber stres dapat berubah-ubah, sejalan dengan perkembangan manusia tetapi kondisi stres juga dapat terjadi di setiap saat sepanjang kehidupan. STRESSOR adalah stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan. Stressor menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan , perkembangan dan kebutuhan cultural.
MACAM - MACAM STRESSOR:
a. Stressor internal : berasal dari dalam diri seseorang (mis : demam, kondisi seperti kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah).b. Stressor eksternal : berasal dari luar diri seseorang (mis : perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga atau sosial, tekanan dari pasangan).

Sarafino (1990) membedakan sumber-sumber stres, yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas dan masyarakat.
ª Sumber-sumber stres di dalam diri seseorang.
Kadang-kadang sumber stres itu ada di dalam diri seseorang, salah satunya melalui kesakitan. Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu (Sarafino, 1990). Konflik juga merupakan sumber stres yang utama. Menurut teori Kurt Lewin, kekuatan motivasional yang melawan menyebabkan dua cenderungan yang melawan: pendekatan dan penghindaran. Cenderungan tersebut menggolongkan tiga jenis pokok dari konflik:
(a). Konflik perdekatan,
(b). Konflik penghindaran,
(c). Konflik perdekatan/penghindaran.

ª Sumber-sumber stres di dalam keluarga.
Perilaku, kebutuhan dan personality dari tiap anggota keluarga yang mempunyai pengaruh dan berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, kadang-kadang menimbulkan stress. Konflik interpersonal dapat timbul sebagai akibat dari masalah keuangan, inconsiderate behavior, atau tujuan yang bertolak belakang.
Stress dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga, seperti: perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan-tujuan yang saling berbeda,dll.
b Sumber-sumber stres di dalam komunitas dan lingkungan.
Interaksi subyek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres. Beberapa pengalaman stress orangtua bersumber dari pekerjaannya dan lingkungan yang stressful sifatnya.
Pekerjaan dan stress.
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress sehubungan dengan pekerjaan mereka. Tuntutan kerja dapat menimbulkan stress dalam 2 cara. Pertama, pekerjaan itu mungkin terlalu banyak. Penelitian menemukan bahwa muatan kerja dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan dan masalah-masalah kesehatan (Sarafino, 1990). Kedua, jenis pekerjaan itu sendiri sudah lebih stressful daripada jenis pekerjaan lainnya. Pekerjaan-pekerjaan yang menuntut tanggung jawab bagi kehidupan manusia juga dapat mengakibatkan stress, contoh tenaga medis. Menurut Sarafino (1990) stress kerja dapat disebabkan karena:
a. lingkungan fisik yang terlalu menekan
b. kurangnya kontrol yang dirasakan
c. kurangnya hubungan interpersonal
d. kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja

Sutherland & Cooper (1990) mengidentifikasikan sumber ’managerial stress’, lima di antaranya berasal langsung dari pekerjaan, yang keenam berasal dari interaksi antara lingkungan sosial dengan pekerjaan. Stressor itu meliputi:
a. stressor yang ada di dalam pekerjaan itu sendiri
b. konflik peran
c. masalah dalam hubungan dengan orang lain adalah stressor yang potensial
d. perkembangan karir
e. iklim dan struktur organisasi, adanya pembatasan-pembatasan perilaku, bagaimana iklim budaya di dalam organisasi
f. adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga
Setiap pekerjaan mempunyai stress agents yang potensial, tetapi masing-masing bervariasi dalam tingkatan pengalaman stresnya. Sumber stress yang lain adalah pengaruh pengangguran (Taylor, 1991; O’Brien, 1988)dan pensiun (O’Brien, 1988). Tidak mempunyai pekerjaan berhubungan dengan tingginya kadar hormon stress (kadar catecholamine) dan ketidakberdayaan yang dipelajari. Resiko kesehatan dari para pengangguran juga dibuktikan kebenarannya (Van den Bergh, 1991).
Stress yang berasal dari lingkungan.
Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan fisik, seperti: kebisingan, suhu yang terlalu panas, kesesakan, dan angin badai. Stressor lingkungan mencakup juga stressor secara makro seperti migrasi, kerugian akibat teknologi modern seperti kecelakaan lalu lintas, bencana nuklir (Peterson dkk, 1991) dan faktor sekolah (Graham, 1989).
Girdano (2005) membagi stressor manusia ke dalam beberapa bagian :
1. Bioecological Stress (sumber stres bioekologikal)
Yaitu interaksi manusia dengan lingkungan. Dibagi menjadi 5 penyebab, yaitu:
a. Waktu dan ritme tubuh (Time and Body Rhtyms)
Waktu yang berhubungan dengan stress: deadline, natural world time, hormonal time, metabolic time.
b. Kebiasaan makan dan minum (Eating and Drinking Habits)
▪ Sympathomimetic agents
▪ Hypoglicemics
▪ Sodium intake
▪ Drugs, alcohol and tobacco
▪ Overnutrition
c. Polusi suara
Suara dapat menimbulkan stres dengan 3 cara:
▪ Menstimulasi sympathetic nervous system
▪ Membuat gangguan yang tidak menyenangkan.
▪ Menginterupsi kegiatan-kegiatan
d. Iklim dan ketinggian
2. Psychosocial Stress (sumber stres psikososial)
Terdapat lima penyebab yang beraitan dengan stres, yaitu perubahan, overload, frustrasi, boredom and loneliness, dan keterkaitan antara empat penyebab yang telah disebutkan. Penyebab yang paling sering dihadapi adalah perubahan, overload, dan frustrasi. Perubahan, contohnya adalah perubahan status dari single menjadi couple, perubahan lingkungan tempat tinggal, dan masih banyak lagi. Overload sama dengan overstimulation, dimana stimulus yang ada melebihi kapasitas diri. Overload yang paling sering terjadi adalah urban overload seperti kemacetan yang terjadi di Jakarta. Selain itu, occupational overload juga sangat sering terjadi. Contohnya adalah ketika ingin meningkatkan produktivitas kerja, karena itu seseorang bekerja lebih dari 24 jam sehari sudah jelas waktu kerja ini melebihi kapasitasnya dan jelas membuat overload. Frustrasi dapat terjadi ketika seseorang gagal memperoleh tujuan. Ada empat faktor yang dapat membuat frustrasi, yaitu overcrowding, diskriminasi, faktor sosioekonomi, dan birokrasi.
3. Job Stress (sumber stres pekerjaan)
Stres kerja punya berbagai macam penyebab, paling sering adalah masalah gaji yang tidak sesuai dengan profesi kerja. Masalah lainnya adalah masalah jam kerja, peraturan yang terlalu mengekang sehingga tidak dapat mengekspresikan diri, lokasi kerja yang jauh dari rumah, kerjaan yang tidak lagi menantang, resiko pekerjaan yang tinggi, dan masih banyak lagi.
4. Tipe kepribadian dan cara berpikir
Sumber stres berikutnya adalah berasal dari kognitif, yaitu bagaimana kita sebagai individu menginterpretasikan peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Misalnya ketika seseorang gagal di suatu proyek, akan timbul reaksi yang berbeda dari dua orang berbeda. Orang (X) mungkin bereaksi negatif, dia akan menganggap dirinya memang tidak memiliki kemampuan sehingga tidak bisa menyelesaikan proyek itu dan dia akan terus-terusan menyesal hingga dia menjadi stres. Namun orang (Y) mungkin saja akan bereaksi sebaliknya. Sumber stres lainnya berasal dari kepribadian seseorang. Apakah Anda seorang yang merasa bahwa kerjaan Anda akan lebih baik dibanding teman Anda, perfeksionis, mudah marah, dan agresif? Kalau ternyata jawabannya ‘ya’ maka Anda adalah seorang yang berkepribadian tipe A. Itu berarti Anda harus lebih berhati-hati dan Anda harus belajar merilekskan diri karena orang-orang bertipe A ini adalah orang yang mudah stres dibandingkan orang bertipe B yang lebih easy going.

Pendekatan Stress Perkembangan

Menurut Goodyer (1998): manusia menemukan kejadian hidup yang penuh stress dari waktu kehamilan. Pada tahap perkembangan yang berbeda, stressor yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda.
Kemampuan tubuh memerangi sakit sudah ada pada masa anak-anak, tapi kemampuan ini turun saat masa tua ( Sarafino,1990). Alasan lain pada anak mempunyai keterbatasan pengetahuan tentang penyakit dan kematian, rasa sakit hanya di persepsikan hanya pada saat kejadian, sedang pada orang lanjut usia penafsiran stress selain tertuju pada saat itu juga tetapi tertuju juga pada antisipasi masa datang seperti pemikiran kemungkinan mati atau cacat.
Major Depressive Disorder (MDD) merupakan gangguan jiwa yang dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Sekitar 15% penderitanya meninggal karena bunuh diri. Bagi penderita yang berusia di atas 55 tahun, angka kematiannya mencapai empat kali lebih tinggi. MDD sering kali berhubungan dengan penyakit medis lainnya; 20%-25% penderita penyakit seperti diabetes, gangguan jantung, kanker, dan stroke, berpotensi mengidap MDD.
Angka MDD dua kali lebih tinggi di kalangan wanita, baik yang remaja atau yang sudah dewasa. Angka MDD di kalangan wanita adalah antara 10%-25%, sedangkan di kalangan pria antara 5%-12%. Angka MDD lebih tinggi di kalangan orang yang berusia 25-44 tahun dan lebih rendah pada yang berusia di atas 65.
MDD dapat menyerang pada usia berapa pun namun pada umumnya pertengahan duapuluhan. MDD dapat sembuh secara total atau parsial; sepertiga dari kasus MDD tidak sembuh sama sekali. Sekitar 50%-60% kasus MDD terulang kembali dan 70% dari kasus pengulangan membuka peluang terjadinya serangan ketiga. Bagi yang pernah mengalami tiga penyerangan MDD, 90% berkemungkinan mengalami serangan keempat. Bagi yang mengalami penyembuhan parsial atau tidak tuntas, kemungkinan terkena kembalinya lebih besar.
Biasanya stres yang berat mendahului munculnya MDD, misalnya kematian seseorang yang dikasihi atau perceraian. Penyakit medis yang kronis atau ketergantungan narkoba (terutama alkohol atau kokain) juga memberi sumbangsih pada kemunculan MDD atau memperparah gejalanya. Angka MDD 1,5 sampai 3 kali lebih tinggi di kalangan kerabat kandung (first-degree biological relatives) dibanding masyarakat pada umumnya.
Dysthymic Disorder dibedakan dari MDD dalam hal keparahannya (severity), berapa kronisnya (chronicity), dan berapa alotnya (persistence). Pada MDD, suasana hati yang penuh depresi menguasai si penderita hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, selama sekurang-kurangnya 2 minggu. Pada Dysthymic Disorder, hari-hari yang ditandai dengan suasana hati yang depresif lebih sering muncul daripada yang sebaliknya, selama sekurang-kurangnya 2 tahun.
Ciri dan Kriteria
Untuk dapat didiagnosis dengan MDD, perlu adanya lima (atau lebih dari lima) gejala di bawah ini selama 2 minggu, yang menandakan perubahan fungsi sehari-hari. Salah satu dari gejala-gejalanya haruslah suasana hati yang depresif atau hilangnya minat atau kesenangan.
Suasana hati yang depresif hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, misalnya merasa sedih atau kosong, atau ditunjukkan melalui tangisan.
Menurunnya minat atau kesenangan pada aktivitas sehari-hari, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
Menurunnya berat badan secara drastik meski tidak sedang berdiet atau bertambahnya berat badan, atau menurun atau bertambahnya selera makan hampir setiap hari.
Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
Bertambah cepat atau melambannya gerakan tubuh hampir setiap hari.
Rasa letih atau kehilangan energi hampir setiap hari.
Merasa tidak berharga atau merasa bersalah secara berlebihan atau tidak pada tempatnya, hampir setiap hari.
Menurunnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau bingung dan ragu-ragu (indecisive), hampir setiap hari.
Munculnya pikiran tentang kematian (bukan hanya takut mati), keinginan untuk membunuh diri walau tanpa rencana yang matang, atau mencoba membunuh diri atau merencanakan dengan matang untuk membunuh diri.

Model biologis dari Hans Selye
Selye mendefinisikan stres sebagai respons umum dari tubuh terhadap segala jenis tuntutan (stresor) yang diberikan kepadanya. Menurut Selye, pada waktu menghadapi stresor, tubuh mengeluarkan reaksi-reaksi yang disebutnya general adaptation syndrome (GAS).
GAS terdiri dari tiga tahapan yakni:
The alarm reaction, tahap di mana terjadi persiapan untuk melawan stresor;
The stage of resistance, tahap di mana terjadi perlawanan terhadap stresor, dan
The stage of exhaustion, tahap melemahnya perlawanan akibat keberadaan stresor yang berkepanjangan.
Model Psikofisiologis dari Richard Lazarus
Teori Lazarus berkembang dari pertanyaan, mengapa sesuatu bisa menjadi stresor bagi orang yang satu namun bukan stresor bagi orang yang lain. Menurut Lazarus, kuncinya terletak pada persepsi orang itu sendiri, yakni ia merasa terancam oleh stresor tersebut, dan bukan pada stresornya. Lazarus mendefinisikan stres sebagai kaitan tertentu antara seseorang dan lingkungannya di mana ia menilai kondisi itu sebagai sesuatu yang membebaninya atau melebihi kesanggupannya dan membahayakan kesejahteraannya.
Model stresnya terbagi dalam tiga tahapan. Pada tahap pertama, appraisal, seseorang membuat penilaian awal (primary appraisal) terhadap suatu stimulus, yakni berapa pentingnya stimulus itu terhadap kesejahteraannya. Jika ia menilai bahwa perjumpaan dengan stimulus itu tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadapnya, maka kesimpulannya adalah irrelevant. Bila ia menganggap bahwa perjumpaan dengan stimulus itu malah akan melindungi atau memperkaya kesejahteraannya, maka kesimpulannya ialah benign-positive. Namun, manakala perjumpaan dengan stimulus itu mengandung bahaya, kehilangan, ancaman, atau tantangan, maka kesimpulannya adalah stress-appraisal.
Sewaktu penilaian stress-appraisal dibuat, orang itu pun melakukan penilaian berikutnya (secondary appraisal), yaitu apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi perjumpaan yang mengandung stres itu. Proses secondary appraisal digabung dengan primary appraisal menentukan reaksi emosional dan kadar stres yang dialaminya.
Tahap kedua ialah mengatasi stimulus yang dinilai membawa stres dengan menggunakan strategi yang dipikirkan pada secondary appraisal. Semua upaya untuk mengatasi stres dapat dikelompokkan dalam dua golongan: problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping berusaha untuk mengubah atau menguasai stimulus yang membawa stres itu. Emotion-focused coping berupaya untuk mengubah atau menguasai respons emosional orang itu terhadap stimulus yang membawa stres, misalnya menyangkal keadaan, melemaskan badan, mendapatkan dukungan, atau memperoleh makna hidup.
Tahap ketiga ialah hasil (outcome) yang terbagi dalam tiga kelompok: (a) berfungsi kembali dalam pekerjaan dan kehidupan sosial; (b) memperoleh kepuasan hidup; dan (c) sehat jasmani.
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRESS

Faktor perilaku.
Tatkala seseorang menjumpai stresor dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stresor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap stresor itu yaitu:
Berapa lamanya (duration) ia harus menghadapi stresor itu dan
berapa terduganya stresor itu (predictability).
Faktor psikologis.
Ada tiga faktor psikologis yang terlibat di sini.Pertama adalah perceived control yakni keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor itu. Orang dengan internal locus of control (peristiwa yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilakunya) cenderung lebih mampu mengatasi stres dibanding dengan orang dengan external locus of control (peristiwa yang terjadi bergantung pada nasib, keberuntungan atau orang lain).
Kedua, learned helplessness adalah reaksi tidak berdaya akibat seringnya mengalami peristiwa yang berada di luar kendalinya. Produk akhirnya adalah motivational deficit (menyimpulkan bahwa semua upaya adalah sia-sia), cognitive deficit (kesulitan mempelajari respons-respons yang dapat membawa hasil yang positif) dan emotional deficit (rasa tertekan karena melihat bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa dan situasinya tak terkendalikan lagi).
Ketiga ialah hardiness (keberanian, ketangguhan) yang terdiri dari tiga karakteristik:
Keyakinan bahwa seseorang dapat mengendalikan atau mempengaruhi apa yang terjadi padanya;
Komitmen, keterlibatan, dan makna pada apa yang dilakukannya hari demi hari; dan
fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, seakan-akan perubahan merupakan tantangan untuk pertumbuhannya.
Faktor sosial.
Selain peristiwa penting, ternyata tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi. Dukungan sosial turut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi stres.
Dukungan sosial mencakup:
Dukungan emosional, seperti rasa dikasihi;
Dukungan nyata, seperti bantuan atau jasa; dan
Dukungan informasi, misalnya nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu.

HUBUNGAN STRESS – KESEHATAN DAN COPING TERHADAP STRESS

1. Faktor-Faktor yang Mengubah Pengalaman Stress
Reaksi terhadap stress bervariasi antara orang satu dengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah dampak stressor bagi individu. Banyaknya variabel yang diteliti dalam pandangan ini adalah sebagai berikut :
Variabel dalam kondisi individu.
Karakteristik kepribadian.
Variabel sosial-kognitif.
Hubungan dengan lingkungan sosial.
Strategi coping.
2. Dukungan Sosial sebagai Salah Satu Perubahan Stress
Jumlah literatur tidak menjadi jaminan untuk penglihatan yang jelas tentang dukungan sosial dan masih menunjukkan kekurangan kejelasan tentang arti sebenarnya. Tiga buah pertanyaan pokok tentang dukungan sosial : (1) Apakah dukungan sosial itu? (2) Dukungan sosial apakah yang diberikan pada seseorang?
(3) Bagaimana dukungan sosial itu mempengaruhi kesehatan?

Konseptualisasi
Dukungan sosial berkaiatan dengan konsep-konsep lainnya seperti ikatan sosial, jaringan sosial, sistem dukungan, jaringan alami yang membantu.

Dukungan Sosial dan Konsep-Konsep Terkait
(Winnubst dkk, 1988) meletakkan dukungan sosial dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan. Menurut Rodin dan Salovey (1989) perkawinan dan keluarga merupakan dukungan sosial yang paling penting. Coyney dan Downey (1991) dukungan sosial berhubungan dengan hubungan-hubungan intim. Hobfoll (1985) mengatakan bahwa satu atau dua hubungan yang akrab adalah penting dalam masalah dukungan sosial dan hanya mereka yang tidak terjalin suatu keakraban berada pada resiko. Wilman (1985) meletakkan dukungan sosial di dalam analisis jaringan yang lebih longgar : dukungan sosial hanya dapat dipahami kalau orang tahu tentang struktur jaringan yang lebih luas yang di dalamnya seorang terintegrasikan. Segi-segi struktural jaringan ini mencakup pengaturan-pengaturan hidup, frekuensi kontak, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, keterlibatan dalam jaringan sosial (Ritter, 1988).
Bahwa kesakitan fisik dan psikologis itu lebih lazim dalam komunitas yang di dalamnya ikatan sosial dan jaringan dikacaukan oleh perubahan dalam pola pekerjaan, migrasi, umur dan kematian (Rodin dan Salovey, 1989). Jaringan sosial mempengaruhi keanekaragaman perilaku kesehatan (Ritter, 1988). Dukungan sosial mengacu pada bantuan emosional instrumental dan financial yag diperoleh dari jaringan sosial seseorang (Ritter,1988). Rook (1985) menganggap dukungan sosial sebagai satu diantara fungsi pertalian (atau ikatan ) sosial. Segi-segi fungsional mencakup :
Dukungan emosional
Mendorong adanya ungkapan perasaan
Pemberian nasehat atau informasi
Pemberian bantuan material (Ritter, 1988)

Dukungan Sosial Sebagai Kognisi atau Fakta Sosial

“...Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima...” (Gottlieb, 1983)
Persepsi dukungan sosial itu tidak memiliki efek yang sama seperti dukungan yang sebenarnya diterima (Ritter, 1988)
“...Dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian atau membantu orang menerima dari orang-orang atau kelompok lain.” (Sarafino, 1990)

Jenis Dukungan Sosial
Haouse membedakan 4 jenis atau dimensi dukungan sosial (Winnubst dkk, 1988; Sarafino, 1990) :
Dukungan emosional
Dukungan penghargaan
Dukungan Instrumental
Dukungan informatif

Hubungan dengan Kesehatan
Pengaruh dukungan sosial pada stress sebagai variabel penengan dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Dua teori pokok diusulkan :
Hipotesis penyangga (buffer hypothesis)
Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stress yang berat.
Hipotesis efek langsung (direct effect hypothesis)
Dukungan sosial bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan tidak peduli banyaknya stress yang dialami orang-orang


MODEL – MODEL STRESS KESEHATAN

Model – Model Stress
Cox (1978) membagi model stress menjadi model yang mempunyai konsep bahwa fenomena stress berdasarkan stimulus , konsep stress berdasarkan respon dan konsep bahwa stress merupakan gabungan dari kedua konsep tersebut. Stress dapat dilihat sebagai stimulus dimana individu memberi respon dengan cara tertentu. Meskipun demikian ada orang yang berpikir sebaliknya, bahwa stress lebih merupakan respon terhadap stimulus yang berbahaya. Cox mengatakan bahwa kedua kelompok benar dan menggambarkan pikirannya dengan menanyakan pada kita untuk memikirkan tentang kelelahan. Kelelahan merupakan stimulus yang mengakibatkan stress dan respon yang mengakibatkan stress. Kadang-kadang orang menjadi sangat kelelahan sehingga mereka cemas apakah mereka akan mampu menjalankan tugas mereka dengan baik, dan kadang-kadang mempunyai tuntutan tugas yang harus diselesaikan akan membuat orang merasa kelelahan.
Banyak penelitian menunjukkan bagaimana stress secara negatif mempengaruhi sistem yang bekerja dalam tubuh. Secara umum, stress, kehilangan, perawatan dalam waktu lama, kesepian, marah, trauma, hubungan rumah tangga yang bermasalah akan memberikan efek negatif dan lebih lanjut akan berpengaruh negatif pula terhadap fungsi tubuh. Tapi, para peneliti juga memastikan bahwa kita juga bisa secara positif mempengaruhi kesehatan kita dengan cinta, persahabatan, kehidupan spiritual, pandangan positif, meditasi, yoga, musik, seni atau memelihara hewan peliharaan.

Beberapa ‘jalan’ untuk menjelaskan bagaimana stress dapat mempengaruhi kesehatan dan kesakitan yang digambarkan oleh Taylor (1991) :
The Direct Route
Stress dapat menghasilkan perubahan-perubahan fisiologis dan psikologis yang mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Sesuai dengan pendekatan ini, Sarafino (1990) menyatakan bahwa rasa stress dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada system fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Perasaan stress juga dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis.
The Personality Route
Kepribadian akan mempengaruhi individu untuk mengalami stress, yang kemudian akan mempengaruhi kesakitan, misalnya seseorang yang memiliki sifat pesimistis.
The Interactive Route
Pendekatan ini menekankan kepada pentingnya ketidak-kekebalan yang ada sebelumnya baik psikologis maupun fisik dalam hubungan stress dan kesakitan. Model ini menyatakan bahwa stress dapat mengarah pada kesakitan hanya bagi orang yang mempunyai sifat mudah kena serang.
The Health Behaviour Route
Stress dapat secara tidak langsung mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu, contohnya konsumsi alcohol atau merokok selama ada kejadian yang penuh stress.
The Illness Behaviour Route
Stress dapat secara langsung mempengaruhi perilaku kesakitan tanpa menyebabkan penyakit. Contohnya orang yang menganggap gejala-gejala disebabkan oleh stress sebagai tanda kesakitan tertentu, sehingga kemudian mencari pengobatan medis atau berbaring di tempat tidur, mendapat perhatian, simpati, atau perawatan.

Menurut Terry Beehr dan John Newman (1978) gejala stress kerja dapat dibagi dalam 3 aspek, yaitu:

Gejala Psikologis
Gejala Fisik
Gejala Perilaku
Kecemasan, ketegangan
Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah
Menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas
Bingung, marah, sensitif
Meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin
Penurunan prestasi dan produktivitas
Memendam perasaan
Gangguan gastrointestinal, misalnya gangguan lambung
Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk
Komunikasi tidak efektif
Mudah terluka
Perilaku sabotase
Mengurung diri
Mudah lelah secara fisik
Meningkatnya frekuensi absensi
Depresi
Kematian
Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan)
Merasa terasing dan mengasingkan diri
Gangguan kardiovaskuler
Kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan
Kebosanan
Gangguan pernafasan
Meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti ngebut, berjudi
Ketidakpuasan kerja
Lebih sering berkeringat
Meningkatnya agresivitas, dan kriminalitas
Lelah mental
Gangguan pada kulit
Penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
Menurunnya fungsi intelektual
Kepala pusing, migrain
Kecenderungan bunuh diri
Kehilangan daya konsentrasi
Kanker

Kehilangan spontanitas dan kreativitas
Ketegangan otot

Kehilangan semangat hidup
Probem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur)

Menurunnya harga diri dan rasa percaya diri



Stress Management
Stress adalah suatu kondisi normal pada waktu menghadapi perubahan dan ancaman dengan respon yang dapat adaptive. Stress melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami sebagai baik sebagai anxiousness (distress) atau pleasure (eustress). Tugas dari tiap orang untuk menemukan nilai optimum dari stress stimulation, yang menyegarkan dan energizing, dan dengan tetap mempertahankan tingkatan relaksasi. Tiap orang harus juga mencari keseimbangan antara periode stress dan ketenangan diri. Stress management adalah usaha seseorang untuk mencari cara yang paling sesuai dengan kondisinya untuk mengurangi stress yang terjadi dalam dirinya.
Ada beberapa strategi atau metode untuk mengurangi stress. Diantaranya adalah muscle relaxation exercises, meditational breathing, suntikan pereda stress, dan prioritizing. Bagaimanapun juga, tidak semua pendekatan untuk stress management ditujukan untuk mengurangi stress. Jadi, semuanya tergantung dari kondisi masing-masing individu, tingkatan stress yang ada dan kejadian yang melatarbelakangi stress-nya.
Dalam menghadapi stress, individu akan memberikan respon yang berbeda-beda untuk mengatasinya. Dewasa ini proses ‘coping’ terhadap stress menjadi pedoman untuk mengerti reaksi stress. Secara umum, stress dapat diatasi dengan melakukan transaksi dengan lingkungan dimana hubungan ini merupakan suatu proses yang dinamis.

Coping With Stress
Individu dari semua umur mengalami stress dan mencoba untuk mengatasinya. Karena ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stress menimbulkan ketidaknyamanan, seseorang menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stress. Hal-hal yang dilakukan tersebut merupakan bagian dari coping. Coping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara demands dan resources yang dinilai dalam suatu keadaan yang stressful. Walaupun coping efforts dapat diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu masalah, hal ini juga dapat membantu seseorang untuk mengubah persepsinya atas ketidaksesuaian, mentolerir atau menerima bahaya atau ancaman, atau melepaskan diri atau menghindari situasi stress. Stress diatasi dengan cognitive dan behavioral transactions dengan lingkungan.
Strategi Coping
Proses coping bukan hanya satu kejadian. Karena coping melibatkan ongoing transactions dengan lingkungan, dan proses tersebut sebaiknya dilihat sebagai suatu dynamic series.
Dalam banyak review, disebutkan bahwa strategi coping (with stress) manusia dilakukan secara sadar dengan cara yang digolongkan menjadi 3 kategori :
1. PROBLEM SOLVING
Kita mengalahkan stress dengan cara menyelesaikan problem stressor (hal yang membuat stress itu). Misalnya, kita stress karena menderita suatu penyakit, maka kita menyelesaikan masalah dengan berobat sehingga penyakit kita bisa sembuh. Atau bisa juga dengan mengusahakan agar kita bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi (bila situasinya sendiri tidak bisa dirubah).
2. AVOIDANCE
Kebalikan dari problem solving”, dengan teknik ini seseorang menghindar. Menghindar dari orang lain, atau dengan cara-cara seperti : daydreaming (memimpikan) masa2 yang lebih baik, menonton TV lebih banyak dari sebelumnya, dll.
3. SEEKING OF SOCIAL SUPPORT
Dengan teknik ini, ketika seseorang menghadapi stress atau kecemasan maka dia pergi mencari orang lain, menceritakan dan mempercayakan masalahnya kepada orang lain (biasanya teman atau saudara) untuk kemudian mendapatkan ketentraman hatinya kembali.
1. Emotion-Focused Coping
Metode lainnya menjelaskan strategi manusia dalam rangka ‘coping with stress’ dengan melakukan suatu mekanisme conscious emotion regulation ( pengaturan emosi ) yang disebut Emotion-Focused Coping.
Emotion Focused Coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stress. Seseorang dapat mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan behavioral dan cognitive. Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress, dimana pengaturan ini melalui perilaku individu melalui strategi kognitif.
Beberapa contoh penerapan teknik emotion-focused coping antara lain:
Menerima simpati dan pengertian dari seseorang (teman, saudara atau support group lainnya).
Mencoba untuk melihat sesuatu dari sisi lain( yang lebih positif ).

2. Problem- Focused Coping
Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi yang stressful atau memperluas resource untuk mengatasinya. Seseorang cenderung menggunakan metode problem focused coping apabila mereka percaya bahwa resources atau demands dari situasinya dapat dirubah. Digunakan untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru.
Teknik ini lebih focus kepada penyelesaian masalah yang menyebabkan kecemasan atau stress. Contohnya :
Membuat individu yang bersangkutan menerima tanggung jawab untuk menyelesaikan atau mengontrol masalah yang menimbulkan stress. Dengan merubah situasi dari masalah yang bersangkutan, diharapkan efek stressnya juga akan menghilang.
Menyiapkan semacam rencana untuk menyelesaikan masalah penyebab stress dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut.
Menurut Folkman & Lazarus (Folkman & Lazarus, 1988; Folkman et al., 1986), skill dan strategi coping diuraikan sebagai berikut :
A. Planful problem-solving
B. Confrontive coping
C. Seeking social support
D. Distancing (emotion-focused)
E. Escape-avoidance
F. Self-control
G. Accepting responsibility
H. Positive reappraisal
Perlu diketahui bahwa tidak ada satupun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stress.tidak ada strategi coping yang palinag berhasil. Strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stress dan situasi. ( Rutter, 1983)
Reduksi Potensi untuk Stress dan Pengelolaan Stress
Beberapa aspek kehidupan manusia dapat mengurangi potensi untuk berkembangnya stressor dan membantuindividu-individu mengatasi stress. Prevensi merupakan penagaan yang pertama terhadap stress (Sarafino, 1990).
Meningkatkan dukungan sosial merupakan salah satu cara yang lebih jelas di antara usaha-usaha tersebut. Intervensi lainnya adalah: meningkatkan kontrol pribadi atau kontrol yang dirasakan, mengatur kehidupan seseorang lebih baik, mempersiapkan diri terhadap kejadian yang penuh stress, fitnes, modifikasi perilaku tipe A.
Teknik-teknik dalam pendekatan ‘cognitif-behavioral’ diantaranya adalah relaksasi dan disensitisasi sistematis, biofeedback, modeling, restrukturisasi kognitif (Ellis), ‘stress-inoculation training’ (Meinchenbaum), terapi multi modal, meditasi dan hipnose.
Teknik-teknik pengelolaan stress ini ternyata dapat digunakan untuk mengurangi resiko penyakit jantung melalui pengubahan faktor resiko seperti perilaku tipe .
Coping Terhadap Stress pada Masa Kanak-Kanak dan Remaja
Coping terhadap stress pada masa anak dan remaja belum banyak mendapat perhatian. Maka banyak digunakan model coping pada orang dewasa, seperti model dari Lazarus (Eiser, 1990). Selain itu factor-faktor yang mengarah pada keberhasilan coping di masa kanak-kanak kurang dimengerti (Graham, 1989). Remaja semakin dipandang sebagai “producer of his own development”, yang menguasai transisi menuju masa dewasa dengan secara tetap mengatasi tugas-tugas perkembangan yang relevan.



By :
Lyza Nur Khafida CS
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN FISIOTERAPI
PROGRAM STUDI D IV FISIOTERAPI
2008

OSTEOARTHRITIS LUTUT

1. Perubahan Patologis

Dalam keadaan normal, sendi memiliki derajat gesekan yang rendah sehingga tidak akan mudah aus, kecuali bila digunakan secara sangat berlebihan atau mengalami cedera.
Osteoartritis kemungkinan berawal ketika suatu kelainan terjadi pada sel-sel yang membentuk komponen tulang rawan, seperti kolagen (serabut protein yang kuat pada jaringan ikat) dan proteoglikan (bahan yang membentuk daya lenting tulang rawan).
Selanjutnya tulang rawan tumbuh terlalu banyak, tetapi pada akhirnya akan menipis dan membentuk retakan-retakan di permukaan.
Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang yang terletak dibawah kartilago tersebut, sehingga tulang menjadi rapuh.
Tulang mengalami pertumbuhan berlebihan di pinggiran sendi dan menyebabkan benjolan (osteofit), yang bisa dilihat dan bisa dirasakan. Benjolan ini mempengaruhi fungsi sendi yang normal dan menyebabkan nyeri.
Pada akhirnya, permukaan tulang rawan yang halus dan licin berubah menjadi kasar dan berlubang-lubang, sehingga sendi tidak lagi dapat bergerak secara halus.
Semua komponen sendi (tulang, kapsul sendi, jaringan sinovial, tendon dan tulang rawan) mengalami kegagalan dan terjadi kelainan sendi.
Osteoartritis dikelompokkan menjadi:
- Osteoartritis primer, jika penyebabnya tidak diketahui
- Osteoartritis sekunder, jika penyebabnya adalah penyakit lain (misalnya penyakit Paget atau ineksi, kelainan bentuk, cedera atau penggunaan sendi yang berlebihan).
Orang-orang yang pekerjaannya menyebabkan penekanan berulang pada sendi mempunyai resiko lebih besar untuk menderita osteoartritis.
Jenis pekerjaan ini misalnya pekerja tambang dan supir bis. Obesitas diduga merupakan faktor utama dalam terjadinya osteoartritis, tetapi pembuktiannya belum cukup kuat.

2. Gejala Klinis

Bila dilakukan x-ray pada orang-orang berusia 40 tahun, kebanyakan akan memperlihatkan mulai terjadinya osteoartritis, terutama pada sendi penopang beban seperti sendi panggul; tetapi hanya sedikit yang memiliki gejala. Gejala biasanya timbul secara bertahap dan pada awalnya hanya mengenai satu atau sedikit sendi. Yang sering terkena adalah sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung sebelah bawah, jari kaki yang besar, panggul dan lutut. Nyeri yang biasanya akan bertambah buruk jika melakukan olah raga, merupakan gejala pertama. Beberapa penderita merasakan kekakuan pada sendinya ketika bangun tidur atau pada kegiatan non-aktif lainnya, tetapi kekakuan ini biasanya menghilang dalam waktu 30 menit setelah mereka kembali menggerakkan sendinya. Kerusakan karena orteoartritis semakin memburuk, sehingga sendi menjadi sukar digerakkan dan pada akhirnya akan terhenti pada posisi tertekuk. Pertumbuhan baru dari tulang, tulang rawan dan jaringan lainnya bisa menyebabkan membesarnya sendi, dan tulang rawan yang kasar menyebabkan terdengarnya suara gemeretak pada saat sendi digerakkan. Pertumbuhan tulang (nodus Herbeden) sering terjadi pada sendi di ujung jari tangan. Pada beberapa sendi (misalnya sendi lutut), ligamen (yang mengelilingi dan menyokong sendi) teregang sehingga sendi menjadi tidak stabil. Menyentuh atau menggerakkan sendi ini bisa menyebabkan nyeri yang hebat. Sendi panggul menjadi kaku dan kehilangan daya geraknya sehingga menggerakkan sendi panggul juga menimbulkan nyeri. Osteoartritis sering terjadi pada tulang belakang. Gejala utamanya adalah nyeri punggung. Biasanya kerusakan sendi di tulang belakang hanya menyebabkan nyeri dan kekakuan yang sifatnya ringan. Osteoartritis pada leher atau punggung sebelah bawah bisa menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan pada lengan atau tungkai, jika pertumbuhan tulang berlebih menekan persarafannya. Kadang pembuluh darah yang menuju ke otak bagian belakang tertekan, sehingga timbul gangguan penglihatan, vertigo, mual dan muntah. Pertumbuhan tulang juga bisa menekan kerongkongan dan menyebabkan kesulitan menelan.

3. Teknik-Teknik Pemeriksaan Klinis

a) Inspeksi :
· Deformitas
· Fungsi dasar (berjalan, naik tangga, jongkok, duduk, dll)
· Bengkak, atrofi quadriceps

b) Palpasi :
· Pitting oedem
· Suhu local
· Atrofi
· Nyeri tekan (tendeness)

c) Test-test gerak pasif dan aktif
· Fleksi&ekstensi
· ABD&ADD
· Eksorotasi&Endorotasi

d) Pemeriksaan khusus
· VAS (visual analogue scale)
· MMT (manual muscle testing)
· LGS
· Anthropometri
· Tes untuk melihat adanya cairan di sendi lutut
v Ballottement patella
v Fluktuasi
v Tes lekuk

· Tes Stabilitas sendi
v Hiperekstensi
v Gravity sign
v Laci sorong ke depan
v Tes lachmann
v Pivot shift
v Hipermobilitas varus/valgus

· Tes – tes meniscus
v Mcmurray
v Appley
v Steiman

4. Penanganan OA Lutut

Olah raga yang tepat (termasuk peregangan dan penguatan) akan membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi dan kekuatan otot-otot di sekitarnya sehingga otot menyerap benturan dengan lebih baik. Dianjurkan untuk menggunakan kursi dengan sandaran yang keras, kasur yang tidak terlalu lembek dan tempat tidur yang dialasi dengan papan. Untuk osteoartritis pada tulang belakang, dilakukan olah raga khusus dan jika penyakitnya berat, bisa digunakan penopang punggung. Tetap melakukan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari, sangatlah penting. Terapi fisik yang sering dilakukan adalah dengan pemanasan. Untuk nyeri pada jari tangan dianjurkan merendam tangan dalam campuran parafin panas dengan minyak mineral pada suhu 47,8-52° Celsius atau mandi dengan air hangat. Pemijatan oleh tenaga terlatih, traksi (penarikan) dan terapi pemanasan dalam dengan diatermi atau ultrasonik bisa dilakukan pada osteoartritis di leher. Obat merupakan aspek yang tidak terlalu penting. Obat pereda nyeri (misalnya acetaminofen) mungkin merupakan satu-satunya obat yang diperlukan. Obat anti peradangan non-steroid (misalnya aspirin atau ibuprofen) bisa diberikan untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Jika sendi secara tiba-tiba mengalami peradangan, membengkak atau terasa nyeri, bisa disuntikkan kortikosteroid langsung ke dalam sendi. Jika pengobatan lainnya gagal, bisa dilakukan pembedahan. Beberapa sendi (terutama sendi panggul dan lutut) bisa diganti dengan sendi buatan. Tindakan ini biasanya berhasil dan hampir selalu bisa memperbaiki fungsi dan pergerakan sendi, serta mengurangi nyeri. Karena itu jika fungsi sendi menjadi terbatas, maka dianjurkan untuk menjalani penggantian sendi.


By :
Tri Julianita and cs
Jurusan Prodi D-IV Fisioterapi
Poltekkes Suarakarta
2008
PATOLOGI

Tendinitis pada salah satu otot rotator bias terjadi berdasarkan perubahan-perubahan degeneratif, dengan atau tanpa adanya pembebanan yang terlalu berat. Petunjuk bahwa pembebaban terlalu berat sering ditemui dalam anamnesis. Keluhannya tidak dapat dibedakan dari keluhan kebanyakan gangguan bahu lainnya.
Tendon otot supraspinatus sebelum berinsersio pada tuberkulum majus humeri, akan melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput humeri (dengan bungkus kapsul sendi glenohunerale) sebagai alasnya, dan akromion serta ligamentum coraco acromiale sebagai penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling bertumpang tindih dengan tendon dari kaput longus biseps. Adanya gesekan dan penekanan yang berulang-ulang serta dalam jangka waktu yang lama oleh tendon biseps ini akan mengakibatkan kerusakan tendon otot supraspinatus dan berlanjut sebagai tendinitis supraspinatus.
Tendinitis supra spinatus dapat disertai ataupun tanpa adanya kalsifikasi. Ada tidaknya klasifikasi mempunyai hubungan langsung dengan ada tidaknya rasa nyeri. Rasa nyeri dapat timbul bila defosit berdiameter 5 mm atau lebih (kadang defosit kalsium nya kurang dari 1,5 cm dimeternya bersifat asimtomatis). Rasa nyeri ini timbul karena kristal kalsium hidrokxyapatite yang ada ditempat tersebut menjebol masuk kedalam bursa subacromialis, yang selanjutnya menimbulkan bursitis akut. Penderita tendinitis biasanya datang dengan keluhan nyeri bahu yang disertai keterbatasan gerak sendi bahu. Bila ditelusuri, daerah rasa nyerinya adalah di seluruh daerah sendi bahu. Rasa nyeri ini dapat kumat-kumatan, yang timbul sewaktu mengangkat bahu. Pada malam hari nyeri ini dirasakan terus-menerus, dan bertambahnya nyeri bila lengan diangkat. Keluhan umum yang biasanya disampaikan adalah kesulitan memakai baju, menyisir rambut, memasang konde atau kalau akan mengambil bumbu dapur di rak gantung bahunya terasa nyeri.

TEKNIK PEMERIKSAAN

Pada pemeriksaan fungsi kita dapat menemukan adanya rasa sakit, baik pada otot yang bersangkutan (secara isometric) ditegangkan, maupun pada saat otot tersebut dikedangkan secara pasif. Pada tes daya tahan M. Supraspinatus dengan abduksi dan tes pengedangan pasif dengan endorotasi + aduksi, maka akan ada rasa sakit.
Sering kali kita melihat suatu kombinasi antara painful arc dan adanya rasa sakit pada tes daya taha tesebut. Hal ini masuk akal, karena M. Supraspinatus adalas salah satu dari tiga otot (M. Subscapularis dan M. Infraspinatus) yang untuk sebagian besar atau kecil termampat sewaktu elevasi. Diharapkan bahwa dengan ada tidaknya rasa sakit pada tes daya tahan berarti adanya luka tendon atau adanya bursitis. Dalam praktek hal ini kurang jelas. Menegangkan otot dengan kuat pun menyebabkan kompensasi bursa. Oleh karena itu, kita sering mendapat satu atau lebih tes daya tahan yang menimbulkan rasa sakit pada pasien dengan bursitis subacromilis. Ada berbagai cara :
- Pengulangan tes daya tahan dalam sikap lain, misalnya dengan berbaring. Sering pada posisi ini tiba-tiba menimbulkan rasa sakit, atau terjadi bahwa tes-tes ini yang semula menimbulkan rasa sakit, sekarang tidak menimbulkan rasa sakit lagi. Kemungkinan besar bahwa dalam hal itu diagnosanya adalah bursitis.
- Pengulangan tes daya tahan yang menimbulkan rasa sakit di bawah traksi. Traksi pada lengan atas mengakibatkan terjadinya pengedangan tendon, tetapi memberikan ruang lebih luas untuk bursa. Bila tes ini kurang menimbulkan rasa sakit dibandingkan dengan tiadanya trakasi, maka hal ini mendukung diagnosa adanya bursitis. Sedangkan bila rasa sakitnya sama, atau malah lebih sakit maka ini mendukung diagnosa adanya luka tendon.
- Pemberian anastesi local pada bursa atau tempat perlengketan tendon. Apabila beberapa menit setelah diberi anastesi tidak timbul rasa sakit lagi saat dilaksanakan tes daya tahan, hal ini berarti bahwa lukanya berada didalam struktur yang telah diberi obat bius tersebut.
Pengulangan tes daya tahan dibawah traksi tidak mengurangi rasa sakit (dalam hal bursitis sakitnya berkurang). Suatu tendopati inersi sering juga disertai oleh painful arc.
Secara umum :
a. Keterangan umum pasien
b. Data medis RS
· Diagnosa
· Catatan klinis
· Terapi medis
c. Fisioterapi
Anamnesis
· Keluhan utama
· Riwayat penyakit sekarang
· Riwayat penyakit dahulu
· Riwayat penyakit penyerta
· Riwayat pribadi
· Riwayat kluarga

Inspeksi

Inspeksi sudah bias dimulai dari saat pasien masuk. Selanjutnya pasien diperiksa dalam berbagai posisi : posisi kepala, simetri kontur tubuh, posisi tulang belakang, berubahnya warna kult, atrofi otot, pembengkakan yang abnormal. Adanya asimteri ringan sebagai akibat scoliosis torakal yang ringan tidak mempunyai arti klinis. Juga posisi bahu dominant yang agak lebih rendah merupakan gejala yang normal, yang terutama pada olahragawan serinh ditemukan.
Pemerisaan fungsi
Pemeriksaan fungsi yang dilakukan adalah secara keseluruhan. Mula-mula fungsi tulang belakang bagian servical/leher, selanjutnya pemeriksaan funsi scapula dan clavicula. Dan selanjutnya pemeriksaan bahu yang lebih khusus.
Secara khusus :
Ø Painfull arc supraspinatus 0-60 derajat
Ø Keterbatasan gerak sendi bahu, terutama abduksi dan eksorotasi.
Ø Nyeri tekan pada daerah tendon otot supraspinatus.
Ø Tes “Apley Scratch” dan “Mosley”: positif. (Kedua tes ini bukan merupakan tes khusus bagi tendinitis supraspinatus saja. Tes “Apley Scratch” sedang tes dan “Mosley” juga positif pada kerusakan otot “rotator cuff” yang lain).

GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang dapat ditemui pada kasus tendinitis supraspinatus :
1. Adanya nyeri tekan pada tendon supraspinatus yang berinsertio pada tuberculum mayus
2. Adanya nyeri 600- 750 pada saat abd aktif
3. Pain full arc 0- 600

INTERVENSI FISIOTERAPI

Pengobatan tendonitis pada bahu, kalau memungkinkan terarah pada penyebabnya, jika penyebab tersebut dapat ditunjukkan. Terapi local dapat diberikan fisioterapi dengan berbagai jenis cara. Bentuk pengobatan yang popular adalah friksi melintang, suatu teknik memijit yang sifatnya sangat local.
Suatu suntikan dengan sebuah anaestheticum local atau preparat kortikosteroid dapat dipertimbangkan, jika cara-cara pengobatan yang lain tidak mempunyai efek
Secara umum penanganan yang dapat diberikan adalah :
1. Diberi kompres hangat untuk mengurangi spasme otot supraspinatus
2. Massage pada tendon supraspinatus
Dengan menggunakan tehnik transver friction
Tujuan diberi massage ini untuk
- Mengurangi nyeri
- Relaksasi otot
- Peningkatan vaskularisasi
3. Terapi elektris dengan menggunakan SWD
4. Terapi latihan

Referensi :
- Mens, J.M.A and deWolf, A.N; Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh;Cetakan kedua, Houten, 1994
- Husdaya, Prastya ; Rematologi; Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisoterapi, Surakarta, 2002
- www. Physio.com